oleh

Renungan Hati yang gembira adalah Obat

Kita hafal ayat ini, bukan? Ada nyanyiannya! Inilah soal sikap hati yang seringkali menjadi modal utama dalam mengatasi kesulitan, terutama kesehatan. Seorang pasien yang bersemangat tinggi akan lebih cepat sembuh daripada pasien yang murung dan patah semangat.

Oleh karena itu, kunjungan para kekasih dan sahabat sangat penting dalam meningkatkan harapan pasien. Pernah saya melawat seorang pasien yang telah mendapat perawatan dan pengobatan yang tepat namun kesehatan makin menurun. Mengapa? Ternyata, si pasien sudah tidak ada gairah hidup sejak ditinggal mati isterinya dan menurut buku catatan hariannya, ia merasa bahwa keluarganya termasuk anak-anaknya tidak menginginkan kehadirannya lagi.

“Hati yang gembira”, kata Amsal, “adalah obat yang manjur”. Bagaimana memiliki hati yang demikian? Zaman dulu sukacita timbul karena hubungan yang baik dan benar dengan Allah (Mazmur 16:9-11, dll) dan karena pengakuan bahwa Tuhan yang menimbulkannya (Mazmur 21:7, 30:13, dll). Sekarang kita bersukacita karena kasih karunia Allah dalam Yesus (Filipi 4:4), karena sukacita Tuhan Yesus dalam kita (Yohanes 15:11), dan karena sukacita adalah buah Roh Kudus (Galatia 5:22).

Hati yang gembira adalah sikap hati orang beriman karena dia memiliki Allah sebagai Bapanya dalam Yesus. KasihNya akan menyertainya selamanya. Bagaimana dia tidak selalu bersukacita?

Hati yang gembira adalah ciri iman yang hidup.

Bacaan Alkitab

Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.

Amsal 17:22

PERSEMBAHAN SEORANG ANAK

Kita pasti bisa membayangkan sebuah pertemuan akbar yang dihadiri paling sedikitnya oleh lima ribu orang, bukan? Penuh sesak, meskipun diadakan di sebuah lapangan yang luas. Pada saat makan siang Tuhan Yesus bertanya kepada Filipus dan murid-muridNya yang lain: “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?”

Filipus membuat perhitungan kilat berapa uang yang dibutuhkan untuk membeli roti “ah, ini permintaan yang mustahil”, batinnya, maka kata Filipus: “Gaji delapan bulan tidak cukup untuk membeli roti bagi semua orang ini!”. Mungkin sekali, seorang anak mendengar keluhan Filipus dan ia lalu mendekati Andreas untuk menawarkan makan siangnya, terdiri dari lima roti jelai dan dua ikan. Andreas tertawa geli dalam hatinya, namun dia mungkin melihat kesungguhan anak itu, maka dia berseru kepada Yesus: “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya …?” Pertanyaan yang sangat masuk akal. Tetapi, seorang anak sangat polos, bukan? Dia mungkin sama sekali tidak berpikir sejauh Andreas.

Seandainya anak itu berpikir seperti Andreas, maka ia pasti tidak menyerahkan makan siangnya dan berkata dalam hati: “Sebaiknya aku makan cepat-cepat makanan siangku agar tidak ada anak lain yang minta untuk aku membaginya”. Namun, nampaknya, anak itu tidak menyembunyikan makan siang atau bahkan melarikan diri. Ia dengan rela ingin mempersembahkannya kepada Yesus.

Tuhan Yesus menghargai sekali persembahan anak itu. Dia berbuat mujizat dengan memperbanyaknya secara luar biasa. Tidak terbayangkan dan tidak masuk akal peristiwa itu. Apakah kita merasa bahwa kita terlalu kecil, terlalu muda, terlalu lanjut usia atau terlalu miskin untuk dihargai oleh Tuhan. Apakah Anda pikir bahwa persembahan Anda terlalu kecil dan sia-sia saja?

Tuhan, berilah kami hati yang peka, yang peduli, dan yang berbelas kasihan. Ajarkan kami untuk menanggapi dengan iman setiap kesempatan yang Kau berikan kepada kami. Demi Yesus. Amin

Bacaan Alkitab

Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?

Yohanes 6:9

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed