oleh

Renungan Kristen Hari Ini: Menahan diri ketika berbicara

Sebuah kisah kuno dari Eropa Timur menceritakan tentang seseorang yang mengumbar kabar burung mengenai rabi dikampungnya, kepada siapapun dia bertemu. Pada suatu kali timbul penyesalan yang dalam, lalu diapun pergi memohon pengampunan. Rabi menyuruh dia mengambil sebuah bantal dari bulu angsa, merobek sarungnya lalu menebarkan bulu-bulu itu yang kemudian tertiup angin. Pekerjaan ini dilakukannya dengan mudah. Selanjutnya setelah selesai, dengan penuh pengharapan dia bertanya: “Apakah sekarang saya sudah diampuni ? “Hampir,” jawab rabi, “hanya satu hal lagi yang perlu kau lakukan, pergi dan kumpulkan kembali bulu-bulu itu.” “Tidak mungkin.” jawabnya. ‘Tepat,” rabi menyahut, “Sekalipun kau ingin memperbaiki kata-kata yang telah kau sebarkan, tetapi tidak mungkin untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.”

Joseph Telushkin, didalam ceramahnya sering berkata; “Kalau saya minta anda untuk tidak minum alkohol dalam waktu 24 jam, dan anda menjawab ‘tidak bisa’, maka anda harus tahu bahwa anda kecanduan . Dan jika saya minta anda untuk tidak merokok seharian, lalu anda berkata ‘tidak mungkin’, ini berarti anda sedang tergantung kepada nikotin. Hal yang sama juga kalau anda tidak sanggup menahan diri untuk tidak berbicara jelek tentang orang lain dalam sehari, maka anda telah kehilangan kontrol terhadap lidah anda.

Seorang pengarang tak dikenal dalam buku kuno ‘Orhot Tzaddikim’ (The ways of the righteous’ mengatakan bahwa gosip selalu mencari kesalahan, seperti lalat yang mencari tempat jorok. Kalau seseorang ada boroknya, maka lalat akan melupakan seluruh bagian tubuh lain yang sehat, karena punya target langsung mendarat diatas borok. Demikian juga dengan gosip yang berbicara hanya berkisar pada kejelekan orang lain.

Kebiasaan untuk berbicara jelek tentang orang lain sering membudaya, kadang-kadang dilingkungan gereja, padahal kemelut ini ada kalanya bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk datang dalam persekutuan. Sebaiknya berbicara kesalahan orang lain hanya untuk menolong melakukan perbaikan, mendoakan atau mencari jalan keluarnya.

Dr. Antonio Wood (pskiater) mengamati bahwa kalau seseorang berbicara jelek mengenai orang lain, maka dia telah menciptakan jarak terhadap orang itu. Semakin negatif kita berbicara, semakin jauhlah kita dari obyek tersebut. Jadi dengan berbicara kejelekan banyak orang, kita akan mengasingkan diri dari banyak teman, dan Dr Wood melihat bahwa pengasingan diri merupakan sebab utama dari depresi yang adalah merupakan salah satu dari kelainan yang sedang berkembang di Amerika.

Berbicara dimana saja, disekolah, persekutuan doa, diperkerjaan, atau ditempat lain, dapat memberikan impak, negatif atau positif, membangun atau merusak, sebab itu jauh-jauh hari Alkitab telah berpesan dan mengatur sikap kita dalam berbicara. Matius 12:37 menyatakan bahwa menurut ucapan kita dibenarkan dan menurut ucapan pula kita akan dihukum. Pengkhotbah 5:1-2, mengingatkan agar kita tidak terburu-buru dalam berbicara, sebab (Amsal 17:27) orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, dan orang yang berpengertian berkepala dingin. Kesadaran ini sering datangnya terlambat, saya sering gagal.

LIDAH BISA MENGUTUK ATAU MEMUJI

Aristotle, seorang filsuf mengatakan bahwa kita tidak cukup untuk sekedar tahu apa yang harus dikatakan, tetapi kita harus juga mengerti bagaimana mengutarakannya. Kemudian Tuhan Yesus dalam pesannya kepada murid-murid menjelang perjalanan pengabaran Injil, mengatakan: “…janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, …karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu, Dia yang berkata-kata didalam kamu (Matius 10:19-20). Tentunya kita mengerti bahwa hal ini terjadi karena murid-murid membiarkan kauasa Allah bekerja didalam dirinya.

Efesus 4:29-32: “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun dimana perlu, supaya mereka yang mendengarkannya beroleh kasih karunia. Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah, hendaklah dibuang dari antara kamu, demikan pula dengan segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah didalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Baca juga 2 Timotius 2:14-17).

Berbicara dengan baik ternyata tidaklah mudah, perkataan perlu dipikirkan sebelum diucapkan, batasan-batasan lain di dalam Alkitab menunjuk kekurangan-kekurangan kita, menyatakan betapa tidak layaknya kita dihadapan Tuhan dan manusia lain, tetapi kita tidak perlu berputus asa, sebab pertolongan Tuhan dan kemauan kita dengan sungguh-sungguh untuk dekat kepadaNya, akan membawa perubahan, menggugurkan pepatah lama yang mengatakan bahwa watak tidak ada obatnya.

Kata-kata yang membangun bisa menjadi titik tolak dari kehidupan seseorang, dipakai Tuhan sebagai alat untuk membawa perubahan. Salah seorang pendeta, penulis dari banyak buku, seorang profesor, R.C. Sproul, mendapatkan dorongan melalui kata-kata dari gurunya; “R.C. don’t let anyone ever tell you that you can’t write.”

Berikut ini adalah kutipan dari ‘Keeping Your Family Together When the World is Falling Apart’ tulisan dari Dr Kevin Leman, penulis dari buku-buku yang membahas masalah keluarga, ini adalah bagian dari kesaksian kehidupannya, yang mengalami titik tolak perubahan melalui kata-kata dari gurunya. Dari seorang ‘bodoh’, akhirnya Kevin menjadi seorang yang sukses dan membantu banyak orang.

Lastborn children are special challenge, particularly when it comes to Reality Discipline. The problem is, they are ussually little charmers, so cute that it’s often tempting to let them get away with things their older brothers and sisters could never get away with.
I have alot of experience with lastborn children because I am one. I’ve told in others books how I came in third behind a big sister who was an A-plus student and big brother who was B-plus student and big athletic hero as well. I’ll show them! I said to myself, and I proceed to carve my own niche in life by pulling D’s and F’s and being a family clown.
I clowned my way up all the way to high school, where I finally ran into a no-nonsense math teacher who understood how to handle the lastborn who is trying to get attention in negative ways. Miss Wilson pulled me aside one day during my last semester in high schooll. Looking me squarely in the eye, she asked, “Kevin, when are you going to stop playing your game ?”
“What game is that, Teach’ ?” I asked. Believe it or not, I actulally did refer to her as ‘Teach’. It was 1961, and I was trying to be ‘cool’.
“The game you play the best.” the math teacher said with a smile. “Being the worst.”
I laughed it off, but what she said that day turned me in another direction. She had seen through my facade and knew I was playing self-destructive, attention-getting game.” (halaman 211).

Disekitar kita banyak teman-teman yang seperti kita, dimana pada suatu kali mungkin mengalami kepahitan, disinilah kita bisa saling membantu, baik melalui kata-kata yang disampaikan secara lisan, maupun kata-kata dalam tulisan lewat surat. Membuat surat memberi peluang kepada kita untuk mempersiapkan apa yang akan dikatakan, dan punya waktu untuk berdoa memohon pertolongan Tuhan. Sebuah surat yang dikirim dari seorang sahabat berbunyi: ” ….. suratmu datang pada saat saya berada dalam keadaan bimbang, …. mengalami stres yang berkepanjangan, …..lama saya membalasnya, bukan karena saya lupa, … karena ada sesuatu yang menarik untuk disimak didalam suratmu itu. Sebab setiap kali saya membacanya, maka setiap kali pula saya dikuatkan.” Surat ini bisa menjadi pengingat, agar didalam surat atau berbicara bisa saling menguatkan, sebab terlalu sering kita berbicara tanpa arti, bahkan tanpa sadar bisa merusak.

Saya teringat kepada seorang nenek yang berumur lebih dari 80 tahun, kami berjumpa sekitar 3 tahun yang lalu, nenek ini tidak mengecap pendidikan tinggi, bukan seorang filsuf , hidup dalam keserhanaan, tetapi wajahnya bercahaya, tidak menunjukkan kerut-kerut penderitaan dalam ‘kekurangannya’ penuh senyum dan kata-katanya kuat. Dengan bodoh saya bertanya: “Bagaimana bisa begitu ? Makan obat apa ?” Tetap tersenyum nenek menjawab: “Makan nasi, … hati bersih, … bicara yang baik, … jangan benci orang.” Kata-kata ini bagaikan siraman air sejuk pada musim panas. Pengajarannya sangat sederhana, mudah dimengerti, tetapi agak sulit dipraktekkan. Sayang perjumpaan kami hanya pendek, kalau tidak, tentu saya bisa belajar lebih banyak lagi dari beliau, mendengarkan kata-kata bijak dari orang yang mengalaminya. Kalau teringat nenek, nasi putih tanpa laukpun akan terasa gurih.

Sepuluh tahun yang lalu ketika saya mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam kehidupan nyata ditengah kekecewaan, ketika saya mempertimbangkan untuk meninggalkan seluruh bentuk pelayanan, Pendeta mengatakan: “Just hang on, everything will be alright, God is greater than your problem.” Beberapa tahun yang lalu pendeta lain berkata dalam kaitan dengan sebuah pembicaraan, mengatakan: “You tidak fair terhadap keluarga.” ‘Klick’ kata-kata ini memutar ‘switch’ yang paling dalam, membawa kepada pergumulan bersama Tuhan, dan akhirnya walaupun ijin tinggal tetap dinegeri lain sudah kami peroleh, toh tidak dipakai, tetapi Tuhan memberikan jalan lain.

Dari orang yang sama, kita, anda, saya, siapa saja, bisa keluar kata-kata pendorong, pembangun, tetapi bisa juga keluar kata-kata yang merusak, menghancurkan, bahkan mematikan.

Dengan lidah kita bisa mengutuk manusia, …tetapi dengan lidah yang sama kita bisa memuji Tuhan.

Yakobus 3:1-12

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed