oleh

Renungan Cerita Kristen: Egois yang Berlebihan

Jean Piaget (1963) membagi tingkat perkembangan manusia kedalam empat phase. Pada tahap pertama yang dimulai sejak lahir sampai umur dua tahun (Sensory motor stage), disini terjadi perubahan-perubahan yang cepat, baik secara lahiriah maupun kejiwaan. Salah satu ciri dari masa ini adalah bertumbuhnya ‘self centeredness’ atau ‘egocentrism’ yang kuat, yaitu sikap yang hanya memikirkan diri sendiri, memakai ukuran sendiri, menghubungkan segala sesuatu dengan diri sendiri, kepentingan sendiri, pendapat sendiri, apa saja diri sendiri, tanpa memperhatikan kebutuhan orang lain di sekitarnya. Perhatikan bagaimana sikap seorang bayi yang siap berteriak kapan saja mereka mau, tidak perduli di ruang pertemuan, tengah malam di mana kedua orang tuanya sedang tidur, di pasar, di restoran, atau di ruang duka sekalipun. Kalau mereka ingin menendang, apa saja dan kapan saja ya ditendang, soal akibat tidak dipikirkan, yang penting hasrat ‘kebayiannya’ terlaksana.

Egoisme

Selanjutnya Piaget menyatakan bahwa egoisme bayi tadi mengalami perubahan (syukurlah), berkembang menjadi ‘adolescent’s egocentrism’ , dimana sifat inipun akan menurun karena adanya tantangan hidup dan kenyataan dari kekecewaan yang terjadi akibat dari pengharapan yang naif. Tetapi sayangnya pemikiran yang berpusat pada diri sendiri ini tidak selalu menurun dengan bijak, bahkan lebih sering bertahan, ada kalanya bertumbuh (bukan hanya iman yang bisa tumbuh, egoisme juga bisa tumbuh).

Paul Haick mengatakan: “Selfish person wants something for nothing” dan Earl Wilson mengatakan: “I have discovered an interesting thing about selfish people, they do not feel loved. In fact, the more selfish they are, the less love they feel, and the less loved they feel, the more selfish they become. It is a vicious circle.” Earl juga mengatakan bahwa dia melihat dengan semakin banyaknya kita mencoba meyenangkan diri sendiri, maka yang akan kita dapatkan justru kepuasan hidup yang semakin berkurang.

Kenyataan egosentrisme yang ada pada diri seseorang muncul dalam berbagai bentuk, misalkan pada gejala yang disebut sebagai ‘egocentrism bias’, dimana orang yang kejangkitan penyakit ini selalu menempatkan dirinya pada posisi yang lebih tinggi dari keadaan yang sebenarnya. Contoh yang populer terjadi pada kasus ‘Water Gate’, (skandal yang mengakibatkan kejatuhan Presiden Nixon), disana pada kesaksian yang diberikan oleh John Dean, Mr. Dean menuliskan sebanyak 245 halaman kesaksian yang sangat detail mengenai berbagai percakapan di seputar peristiwa itu, sehingga dengan ‘ketelitiannya itu’ dia sempat dijuluki sebagai ‘manusia tape recorder’. Dalam kesaksian ini terlihat betapa pentingnya posisi John Dean, tetapi sayang ternyata ada tape recorder yang asli (rekaman elektronik) yang menunjukkan bahwa John Dean sebenarnya tengah melakukan ‘egocentrism bias’, mbonceng suatu peristiwa untuk menjadi orang penting.

Dalam bahasa sehari-hari kita sering dengar istilah ‘sok penting’ atau ‘pahlawan kesiangan hari’, atau ‘pengakuan didalam hati bahwa saya yang paling berjasa dalam suatu misi atau tugas tertentu’, ini semua merupakan bagian dari praktek pembiasan ego itu. Anehnya mereka yang sudah biasa melakukan hal ini, biasanya tenang-tenang saja, padahal sebenarnya sangat memalukan dan jelas tidak diilhami ajaran Kristus. Apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.

Abraham dan Lot

Dialog antara Abraham dengan Lot dalam hal memilih tempat bagi segala ternak dan hamba-hamba mereka, cukup menarik untuk diamati. Mula-mula Abram dan Lot tinggal sedaerah, ternak-ternak dan jumlah penggembala ternak merekapun bertambah. Akibatnya terjadi perebutan air dan rumput di antara kedua kelompok itu. Abraham si paman yang lebih tua, (yang tentunya telah banyak menolong Lot si keponakan) akhirnya mengundang Lot untuk mencari penyelesaian dari sengketa itu. Abraham yang menunjukkan sikap ‘servanthood’ meminta Lot untuk memilih daerah. Lot melihat dataran yang hijau, air yang mengalir, tempat itulah yang dipilihnya, soal Abraham rupanya bukan urusan Lot, dia lebih sigap untuk melihat kebutuhan diri sendiri. Tetapi Abraham yang ditinggali tanah lebih gersang itu tidak kehilangan kasihnya kepada Lot,. Waktupun berjalan, ternak Lot bertambah, bersamaan dengan bertambahnya pengetahuan tentang dosa dan adat di negeri asing yang sebagian diadopsinya. Sampai akhirnya datanglah masa kemarahan Tuhan. Sekali lagi Abraham menunjukkan jati diri yang sebenarnya sebagai ‘Bapak Segala Bangsa’, dia meratap minta pengampunan Tuhan atas negeri yang berdosa itu.

Saul dan Daud

Contoh lain di dalam Alkitab adalah kehidupan Saul raja Israel yang pertama. Masa akhir pemerintahannya diisi oleh kebencian yang dalam kepada Daud, sebabnya: Daud lebih populer dimata rakyat, hal ini sangat mengusik ego-nya. Kita perhatikan dalam I Samuel 18: 7-9:”dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.” Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: “Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya. Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud.” Sayang perubahan dalam diri Saul ini tidak segera dia sadari, bahkan Saul membiarkan dirinya terbelenggu oleh kebencian, karena Daud lebih disenangi rakyatnya. Cerita ini menarik sebagai sebuah pelajaran kita akan membaca ayat ke 20 dan seterusnya.

Tetapi Mikhal, anak perempuan Saul, jatuh cinta kepada Daud; ketika hal itu diberitahukan kepada Saul, maka iapun menyetujuinya; sebab pikir Saul: “Baiklah Mikhal kuberikan kepadanya; biarlah ia menjadi jerat bagi Daud, dan biarlah tangan orang Filistin memukul dia!” Lalu berkatalah Saul kepada Daud untuk kedua kalinya: “Pada hari ini engkau boleh menjadi menantuku. “Lagi Saul memerintahkan kepada para pegawainya: “Katakanlah kepada Daud dengan diam-diam, demikian: Sesungguhnya, raja suka kepadamu dan para pegawainya mengasihi engkau; maka sebab itu, jadilah engkau menantu raja. ” Lalu para pegawai Saul menyampaikan perkataan itu kepada Daud, tetapi Daud menjawab:”Perkara ringankah pada pemandanganmu menjadi menantu raja? Bukankah aku seorang yang miskin dan rendah?” Para pegawai Saul memberitahukan kepada raja katanya: “Demikianlah jawab yang diberi Daud. “Kemudian berkatalah Saul: “Beginilah kamu katakan kepada Daud: Raja tidak menghendaki mas kawin selain dari seratus kulit khatan orang Filistin sebagai pembalasan kepada musuh raja.”

Saul bermaksud untuk menjatuhkan Daud dengan perantaraan orang Filistin. Ketika para pegawainya memberitahukan perkataan itu kepada Daud, maka setujulah Daud menjadi menantu raja. Waktunya belum genap, tetapi Daud sudah bersiap, ia pergi dengan orang-orangnya dan menewaskan dari orang Filistin itu dua ratus orang serta membawa kulit khatan mereka; dan dalam jumlah yang genap diberikan merekalah semuanya itu kepada raja, supaya Daud menjadi menantu raja. Kemudian Saul memberikan Mikhal, anaknya, kepadanya menjadi isterinya. Lalu mengertilah Saul dan tahulah ia, bahwa TUHAN menyertai Daud, dan bahwa seluruh orang Israel mengasihi Daud.”

Kalau kita ikuti kisah Saul dan Daud selanjutnya: sekalipun Saul telah mengerti (ayat 28) bahwa Tuhan menyertai Daud, tetapi dia tidak jera untuk memusuhi Daud. Egocentrisme-nya terlalu besar dan telah membutakan dirinya terhadap kenyataan Kasih Tuhan yang selama ini dia alami.

Egosentrime sangat berakibat buruk

Egoisme yang berlebihan sangat berbahaya baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Lebih-lebih bagi orang yang sedang berkuasa, egosentrime sangat berakibat buruk. Kerusakan lingkungan hidup, penangkapan bahkan pembunuhan sering terjadi karena egoisme liar yang hidup dalam diri seorang penguasa. Alkitab jelas tidak merestui egoisme, Galatia 6:2: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”, kemudian Yesaya 58:10-11: Apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.”

Mengingat Urie Neisser yang menyatakan bahwa kita semua mengidap kemungkinan untuk mendapat kesempatan kejangkitan penyakit egoisme itu, rasanya kita perlu berhati-hati, sedia obat yaitu dengan pendekatan kepada Tuhan melalui doa, renungan harian, saat teduh, membaca Alkitab dan persekutuan, semoga penyakit yang satu ini, yang bisa mematikan, tidak sempat menjalar didalam tubuh kita.

“Tuhan akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.”

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed